Senin, 12 Agustus 2019

Kata “berakhir” perlu dijelaskan. Memang tidak disebutkan masa waktu UU Otsus Papua. UU Otsus hanya memuat masa waktu dana Otsus yang akan berakhir 2021. Tapi sebelum menjawab kenapa wacana “Otsus berakhir” itu muncul, mesti pertanyakan kenapa penguasa kolonial Indonesia sibuk bicara evaluasi Otsus, Revisi UU Otsus atau Otsus Plus?

Ini pertarungan antar elit penguasa kolonial. Bukan rakyat West Papua. Elit penguasa ini sibuk soal “Uang”. Soal nasib 2% Dana Alokasi Umum (DAU) dihentikan atau diperpanjang. Kenapa sibuk bicara uang? Yah, karena nafas NKRI dan elit politik kolonial Indonesia di West Papua itu uang. Uang yang bikin Indonesia tahan Papua, bukan kebijakan, kewenangan atau keberpihak. Dan uang yang bikin elit-elit Papua tahan Indonesia di Papua.

Jadi ini ibarat mobil bensinya habis 2021. Maka dengan sendirinya UU Otsus mati. Karena tanpa uang tra mungkin UU Otsus jalan. Walaupun yang bergerak (beredar) hanya uang. Muatannya tidak jalan karena hilang arah jalan kemana dan bagaimana. Semua Perdasus dimatikan Jakarta. Uang Otsus tidak menjamin Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi kerakyatan, dan affirmasi sebagaimana yang tertuang dalam Otsus.

Buktikan dengan gamblang saja, Index Pembangunan Manusia (IPM) terendah berada di kedua Provinsi di Papua. hanya jago promosi satu dua pilot asli Papua, sementara sekolah-sekolah kosong trada guru di hampir semua kampung-kampung, belum UT dan berbagai akademi yang minim trima siswa Papua.

Angka kemiskinan terburuk ada di kedua Provinsi di Papua. Ekonomi kerakyatan mana yang berhasil? Pembangunan Pasar Mama-Mama Papua di Kota Jayapura, dekat kantor Provinsi Papua saja berjuang sampai korban kematian baru dibangun di penghunjung Otsus. Mana ada kios, tokoh, industri milik rakyat Papua? Semua milik warga kolonial pendatang.

Berapa mayat orang Papua yang keluar dari rumah sakit setiap hari? Uang Otsus habis untuk beli peti mayat bikin duka kematian rakyat Papua setiap hari? Lihat masifnya penetrasi kapital, militer dan pendatang  setelah jalan-jalan dibangun. Ilegal logging, illegal mining, bisnis militer, 436 ribu hektar hutan habis dibabat perusahaan setiap tahun yang diberi ijin Jakarta. Terlalu banyak untuk diurai, dari yang terdata hingga tak terdata.

Otsus justru menambah penderitaan rakyat West Papua. Ibarat memberi obat tanpa diaknosa penyakit. Sakit justru tamba kronis dan mati banyak. Rakyat Papua maunya merdeka, penguasa kolonial kasih pil penindasan lewat uang.
Kenapa uang menindas Papua? Karena yang beredar di kampung hingga kota itu dihabiskan rakyat Papua untuk biaya bertahan pada kemiskinan struktural yang diciptakan penguasa kolonial. Uang dipakai bayar semua kebutuhan primer, sekunder dan tertier milik kolonial. Rakyat dan penguasa kolonial lah yang menyedot semua uang kembali ke Indonesia.

Jadi, entah dana Otsus berakhir tahun 2021 atau dilanjutkan tidak memiliki dampak bagi perbaikan hidup manusia dan tanah Papua. Sebab trada indikator keberhasilan dari kucuran 67 triliun lebih dana Otsus sejak 2002 hingga 2018. Artinya, uang tidak berhasil membangun Papua. Uang juga tidak berhasil membunuh keinginan orang Papua untuk menentukan nasib sendiri. Membuktikan fakta bahwa Indonesia tidak dapat membeli nasionalisme dan ideologi orang Papua. 

Karena Otsus itu hanyalah uang, dan uang itulah yang dipakai untuk meredam perjuangan bangsa Papua untuk merdeka, maka berakhirnya dana otsus 2021 adalah juga akhir dari UU Otsus di tanah Papua. Jakarta tahan dan kelabui perjuangan Papua dengan uang. Elit politik penguasa kolonial di Papua tunduk dan jadi boneka kolonial, bahkan jual-jual isu Papua Merdeka karena uang dan jabatan.

Jadi apa gunanya agenda Evaluasi, Revisi atau Otsus Plus? Tidak perlu “baku tipu”. Jakarta juga tahu dan sadar kenapa Otsus Pincang. Uang dikucurkan tetapi secara sadar juga mereka tahan kewenangan, kebijakan, juga mematikan berbagai produk Perdasus. Perkosa UU Otsus dengan UU lain. Trada grand desain Otsus dijalankan, karena yang sedang dijalankan adalah grand desain kolonialisme. Lantas, apa gunanya Otsus plus, minta-minta kewenangan lebih. Yang di Otsus saja begitu dibiarkan, dimatikan, hanya jadi paket politisasi kolonial. Otsus Plus, yah sama saja!

Otsus hanya alat propaganda kolonial Indonesia. Mau kasih tahu dunia bahwa Indonesia telah memenuhi hak penentuan nasib sendiri melalui Otsus. Sebagai upaya mengubur sejarah aneksasi-manipulasi Pepera 1969 dan tututan hak penentuan nasib sendiri melalui referendum saat ini.

Otsus pincang, digagalkan Jakarta, secara sengaja. Lalu menangkap elit politik Papua yang koruptor. Lalu kampanyekan bahwa orang Papua tidak mampu mengatur diri sendiri lewat Otsus. Dan karenanya mereka (orang Papua) tidak mampu bernegara sendiri. Lalu kehadiran Indonesia melalui militer, pendatang dan kapitalis dianggap mampu membangun Papua, dan karenanya Papua layak dalam kekuasaan Indonesia. Adalah pola-pola propaganda yang dibangun Jakarta.

Lalu orang Papua yang prakmatis bermental rendah diri (inlander) sibuk baku siku, baku gigit, bakalai dalam lingkaran setan Otsus. Membangun politik primordial, terfragmentasi dalam berbagai golongan politik kolonial. Lalu membangun budaya demokrasi uang yang menghancurkan tatanan (pondasi nilai) warisan leluhur. Candu kuasa dan uang itulah yang mesti jadi agenda evaluasi internal kebangsaan Papua.

Lupa pada kebanggan jati diri dan tanah air yang kaya raya. Dana ampas hasil kuras kekayaan Papua itu kalian ribut-ributan rebut. Eh, Papua kaya raya ini kelak milik siapa kalau otakmu hanya sibuk suapan kolonial, sementara gunung batu, kayu, ikan, semua-semua itu jadi milik kolonial? Bukankah jauh lebih baik mengurus semua dalam genggaman/kekuasaan kita bangsa Papua? Bukankan itu yang mesti diperjuangkan? Demi anda tapi juga untuk anak cucumu kelak. Begitulah rendahnya kita mengemis sesuap nasi diatas tanah hamparan luas nan kaya ini.

Rakyat kita ini jangan bawa masuk mereka dalam peradaban kapitalisme. Biarkan mereka tetap tersenyum ceria asal ada pinang merah di mulut. Biarkan mereka tetap kelilingi loyang papeda, barapen, tungku honai. Disanalah surga itu. Asal ada dusun sagu, kebun, hutan tempat berburu, kami sudah puas, kaya. Jangan ajar kami dengan politik demokrasi liberal yang membuat kelas-kelas sosial baru, mayoritas-minoritas. Kami sudah puas pada demokrasi konsensus, meritokrasi, dimana tidak ada lagi ambisi dan pertarungan politik. Dsb-sdb. Pangkal-pangkal kesadaran inilah yang mesti dihidupkan kembali dipenguhunjung Otsus ini.

Karena itu ada alasan kenapa referendum menjadi solusi, juga dalam menyikapi gema referendum di West Papua. Pertama, alasannya jelas karena rakyat West Papua belum pernah menentukan nasib politik mereka. Bahwa tidak ada hukum internasional (resolusi PBB) yang menyatakan West Papua telah menjadi sah bagian dari NKRI sejak pepera 1969.  Kedua, kondisi penindasan bangsa Papua, yakni kehadiran Indonesia dari Otonomi jilid satu hingga Otsus hingga 2021 tidak berhasil membangun Papua, atau membuat orang Papua ingin membangun dalam NKRI. Artinya tidak jaminan perbaikan bagi bangsa Papua kedepan dalam NKRI.

Dua alasan inilah yang mesti menjadi landasan pijak untuk menemukan resolusi bagi bangsa Papua. Sehingga menjadikan isu referendum atau Papua Merdeka sebagai tawaran meminta Otsus Plus, atau kebijakan lain itu sama saja pasien yang hendak mencari obat lain untuk penyakit lain. Kembalikan paket politik kolonial “Otsus” dan semua pihak segera memberi ruang politik bagi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2172944786165930&id=360669324060161


WEST PAPUA:

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman

1. Pendahuluan

Proses pengintegrasian West Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui cara-cara yang tidak beradab. Pemaksaan dengan kekerasan militer menjadi pilihan waktu Pepera 1969. Karena itu, hampir dari 15 Negara dari kawasan Afrika dan Karabia telah menolak hasil Pepera 1969 dalam Sidang Umum PBB. Akhirnya, hasil Pepera 1969 tidak disahkan, tetapi hanya dicatat "take note" karena hasil Pepera 1969 cacat hukum, moral dan melawan hukum internasional dan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.

2. Bukti-bukti Penolakan

Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.

"...yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke."  (Sumber: Dokumen PBB A/7723, Annex 1, paragraf 195).

Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut.

"Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta Sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan  kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.

Contoh: Kami bertanya:

(1) Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?

(2) Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas  hanya sebentar?

(3) Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?

(4) Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?

(5) Mengapa prinsip "one man one vote" yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?

(6) Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?

(7) Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil  (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa, " hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?

(8) Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh Penduduk Asli Papua?
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p. 42).

Doa dan harapan saya, tulisan singkat ini menambah wawasan tentang akar persoalan penderitaan rakyat dan bangsa West Papua.

Ita Wakhu Purom, 10 Desember 2019.


AD BANNER

BTemplates.com

Kategori

AD BANNER

Aku Papua

Aku Papua

Izaak S Kijne

Izaak S Kijne

Firman Tuhan


"Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohoni, kamu mengucap syurkur kepada Allah di dalam hatimu"



" KOLOSE 3:16"


Post Top Ad

Your Ad Spot

Sponsor

test
Responsive Ads Here

Pengikut

Popular Posts